Ketika kita berhasil menorehkan sebuah prestasi, baik itu dalam bidang akademik maupun non akademik, pastilah terbesit dalam hati dan pikiran kita sebuah rasa syukur yang dalam dan rasa kebanggaan yang berkesan. Lantas, apakah yang menjadi salah satu faktor penyebabnya?. Ya, tentunya kita merasakan hal yang demikian apabila prestasi atau suatu keberhasilan tersebut kita ukir dalam papan cakrawala kehidupan atas hasil jerih payah –baik usaha secara lahir maupun bathin-- kita sendiri. Apalah arti suatu keberhasilan tersebut jika kita hanya mendompleng pada keeksistensian pihak lain?. Keberhasilan kecil yang kita peroleh dengan usaha kita sendiri itu jauh lebih bermakna dan berkesan dibandingkan keberhasilan yang massif namun keberhasilan tersebut bak kita mendustai diri kita sendiri.
Tahukah Anda bahwa katak itu ialah hewan yang dimuliakan oleh Allah?. Seperti yang penulis kutip dari ceramah ustadz Syafi’i Masykur, M. Hum., bahwasanya katak itu ialah hewan yang dimuliakan oleh Allah lantaran pada suatu masa ketika sang nabiyyullaah Ibrahim AS. dibakar hidup-hidup pada era kerajaan dari sang raja yang absolut, bengis nandzholim, yakni Raja Namrud. Diceritakan bahwasanya ketika Nabi Ibrahim dibakar, ada katak yang berusaha untuk memadamkan kobaran api yang dahsyat itu. Namun, apa daya, maksud hati ingin memeluk gunung namun tak sampai, tentulah secara logika katak tersebut tak bisa memadamkan api yang berkobar dahsyat tersebut. Namun, Allah sangat mengapresiasi usaha yang dilakukan sang katak tersebut sehingga katak dinobatkan sebagai hewan yang dimuliakan oleh Allah, kendati memang usaha yang ia lakukan sangat kecil dan kurang signifikan untuk bisa memadamkan api tersebut. Dari cerita tersebut, bisa kita tarik sebuah ibroh yang sangat penting nan menarik; sekecil apapun usaha kita untuk berbuat baik pastilah Yang Maha Mencintai Kebaikan akan membalasnya. Kembali ke alur pembicaraan awal bahwasanya sekecil apapun usaha yang kita lakukan atas jerih payah sendiri itu jauh lebih nikmat ketimbang kita mendompleng pada keberadaan orang lain yang akhirnya kita tak mampu untuk berdiri diatas kaki sendiri. Akibatnya, kita cenderung kurang percaya diri dan mandiri. Kita ambil contoh pada hasil ujian, misal, kita mendapat nilai 100, namun nilai tersebut bukanlah nilai murni dari hasil kita, melainkan ada “campur tangan” orang lain. Dan di lain waktu, kita mendapatkan nilai 97, akan tetapi nilai tersebut kiat peroleh dari seratus persen ikhtiar kita –dalam konteks ini ialah ikhtiar lahir (usaha) dan bathin (do’a). Tentunya, saya yakin ada perbedaan rasa dan kesan tersendiri, pastinya kita merasa biasa-biasa saja ketika hasil yang kita peroleh bukan seratus persen dari hasil kita, walaupun secara kuantitatif nilainya lebih besar. Akan tetapi, perasaan tersebut berbanding seratus delapan puluh derajat ketika kita peroleh nilai yang memang lebih kecil, namun ada rasa syukur dan kebanggan yang berkesan tersendiri. Dengan demikian, kita akan terbiasa berkompetisi dengan sportif, responsif dengan dibarengi atmosfer sejuknya kejujuran dan nikmatnya alunan do’a yang dipanjatkan pada Yang Maha Mengabulkan Do’a.
Dengan terorganisirnya goresan tinta diatas, tentulah sebagai bahan introspeksi dan muhasabah dari sang penulis agar senantiasa berusaha belajar untuk berbuat yang demikian. Sekali lagi, bahwasanya tulisan diatas sebagai bahan pelajaran untuk penulis agar senantiasa berusaha belajar untuk berbuat yang demikian; mengedepankan integritas dan kredibilitas dengan penuh responsibilitas yang berimbas pada rasa syukur kepada Allah dan kebanggaan luar biasa yang dapat mengukir kesan penuh makna. Alhamdulillaahirobbil’aalamiin.
Wallaahu’alam bishshowaab.
0 komentar:
Posting Komentar