Purnomo Corporation

Sebuah perusahaan konglomerasi dengan visi "Bermanfaat Untuk Semua"

Menggores pena, menciptakan makna

Karena sebaik-baik insan ialah yang bermanfaat bagi sesama

Berpetualang

Menikmati indahnya alam ciptaan Yang Maha Indah

Senin, 11 Februari 2013

Sholat Berjama'ah dan Leadership


Bismillaahirrohmaanirrohiim…

Tahukah Anda pelajaran yang dapat diambil pada sholat berjamaah terhadap leadership?. Banyak sekali nilai-nilai yang terhimpun dibalik ibadah yang merupakan rutinitas harian muslim ini dengan konsep kepemimpinan. Pada saat sholat berjamaah tentunya komando berpusat pada seorang imam di depan para prajuritnya (baca: makmum), sedangkan para makmum berada di barisan belakang imam dengan rapat, rapih, dan kondusif. Tatkala imam selesai membaca surat Al-fatihah dengan serempak satu nada makmum mengucap lafazh “Aamiin”, para makmum dilarang untuk mendahului gerakan imam, namun, jika sang imam melakukan kesalahan, baik itu lupa jumlah rakaat, gerakan sholat maupun bacaan surat-surat ketika waktu sholat, maka makmum wajib mengingatkan sang pemimpin sholatnya dengan membaca kalimat tasbih, Subhaanallaah atau menepuk tangan bagi perempuan. Ganjaran atau pahala sholat berjamaah itu lebih utama dibandingkan dengan sholat munfarid atau sholat sendirian. Lantas, apakah pelajaran-pelajaran yang dapat kita pahami dan kita ambil dari hal diatas?. Banyak pelajaran yang dapat kita peroleh darinya, terutama dalam nilai-nilai kepemimpinan (leadership value).
Adapun pelajaran-pelajaran tersebut, antara lain:

1.    Makmum harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan oleh imam dalam sholat. Demikian halnya dalam konsep kepemimpinan, dalam koridor kebenaran, yang dipimpin tentunya harus patuh akan perintah yang memimpin. Yang dipimpin tidak boleh membangkang terhadap perintah tersebut. Sebab, jika yang dipimpin itu tidak patuh terhadap perintah sang pemimpin, maka jalannya sistem kepemimpinan akan terganggu atau bahkan rusak lantaran antara yang memimpin dan yang dipimpin tidak bersinergi, melainkan berjalan di jalurnya masing-masing yang berimbas tidak adanya kekompakan dan keserasian. Contoh dalam lingkup pemerintahan kenegaraan, jika sang pemimpin tidak bersinergi dengan yang dipimpin –– dalam hal ini adalah para menteri-menteri –– akibat selanjutnya dapat memicu konflik yang bisa berkepanjangan dan imbasnya bisa merugikan masyarakat umum yang mereka pimpin. Dengan demikian, begitu pentingnya sinergisitas antara pemimpin dengan yang dipimpin seperti halnya dalam sholat berjamaah.

2.    Dalam sholat berjamaah, merapatkan shaf atau barisan itu menjadi hal yang wajib, karena dapat memengaruhi kesempurnaan dalam sholat. Pelajaran yang dapat diambil dari hal ini ialah nilai-nilai kesatuan dan persatuan yang mengingatkan bahwasanya perbedaan itu memang sebuah hak masing-masing individu, akan tetapi persatuan itu merupakan suatu keharusan bagi semuanya. Jika semua lapisan masyarakat atau yang dipimpin itu bahu membahu merapatkan barisan demi mencapai suatu visi, maka dalam melakukan misi-misinya akan sedikit menjumpai masalah dan dalam penyelesaiannyapun baik masalah kecil maupun besar akan mudah dan tidak menemui kendala yang berarti.

3.    Dengan serempak dan senada, makmum mengucapkan lafazh “Aamiin” ketika imam selesai membaca surat Al-fatihah. Pelajaran yang dapat diambil ialah dari belakang dengan satu suara, senada dan seirama berseru untuk mendukung pemimpinnya. Seperti yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantara, Ing mgarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Dan nilai-nilai tersebut terhimpun dari ibadah sholat berjamaah sehingga dapat menjadi dorongan dan motivasi tersendiri untuk pemimpin tersebut.

4.    Ketika imam melakukan kesalahan, maka dengan sigap sang makmum mengingatkan sang imam, dan kemudian kembali berjamaah menjalankan sholat dengan alur yang benar. Dalam kepemimpinan, jika sang pemimpin melakukan kesalahan, maka yang dipimpin harus menegur atau mengingkatkan sang pemimpin, karena ia melakukan kesalahan, dan sang pemimpinpun harus menanggapi teguran dari yang dipimpinnya atas kekeliruan yang telah ia perbuat, karena tidak semua apa yang diperintahkan dan dijalankan oleh pemimpin itu adalah hal yang benar. Bukan malah sang pemimpin tidak mau mengaku kekeliruan yang ia perbuat, dengan dalih ia mempunyai kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang sebagai pemimpin lantas tidak mau menanggapi teguran dari yang menegurnya. Karena jika hal tersebut terjadi, maka sistem kepemimpinan akan berjalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran lantaran tindakan pemimpin yang absolut, angkuh dan tidak responsif.

5.    Bacaan takbir atau membaca surat Al-fatihah dan surat-surat pendek dibaca secara jelas oleh imam agar makmum yang berada di barisan paling belakangpun terdengar. Inilah urgensinya nilai-nilai komunikasi, karena sebuah organisasi tanpa komunikasi yang baik akan memunculkan suasana ketidak harmonisan antar personil di dalamnya yang dapat memicu kesenggangan dalam organisasi tersebut.

6.    Sebelum sholat berjamaah didirikan, terlebih dahulu dikumandangkan adzan oleh muadzin. Ini memberi pelajaran bahwa masing-masing individu mempunyai kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

7.    Sholat berjamaah itu lebih utama didirikan pada awal waktu, setelah sang muadzin mengumandangkan adzan dan iqomah. Hal ini mengajarkan kita tentang nilai-nilai kedisiplinan, tidak hanya dalam kepemimpinan, melainkan dalam diri sendiripun harus senantiasa kita tanamkan.

8.    Pahala sholat berjamaah itu lebih utama daripada sholat sendirian. Maknanya adalah jika kita bersatu, satu rasa, satu jiwa, satu kekuatan dalam mencapai visi yang dicita-citakan, maka dengan bersatu akan membuat semuanya lebih mudah dan menyenangkan, bukan?. Sama halnya jika dianalogikan sebuah sapu lidi, memang sebuah lidi dpat membersihkan ruangan yang kotor, namun itu memakan waktu yang lama. Akan tetapi, jika lidi-lidi bersatu membentuk sebuah ikatan menjadi sapu lidi, maka tentunya akan lebih cepat untuk membersihkan halaman atau tempat yang kotor, namun, jika lidi demi lidi tidak bersatu, melainkan bekerja sendiri, maka pastilah akan memakan waktu yang lama untuk membersihkan tempat yang kotor.

9.    Sholat berjamaah juga dapat mempererat tali persaudaraan antar ummat Islam, karena kebaikan yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh keburukan yang  terorganisir. Maka, dengan sholat berjamaah dapat membentuk sebuah benteng yang kuat untuk melawan keburukan

Itulah beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari sholat berjamaah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Wallahu’alam bish-showaab.

Kamis, 07 Februari 2013

Hidup Bersih itu Budaya



    Kondisi bersih itu memang terlihat menyenangkan dan menentramkan bagi siapa saja yang melihatnya. Baik itu melihatnya dengan kacamata lahir maupun bathin. Karena siapapun orangnya pastilah jika ia berada dalam kondisi dan lingkungan yang bersih akan merasa nyaman. Lantas, bagaimana dengan kondisi kebersihan di sekitar lingkungan kita?. Apakah kita sudah terbiasa dengan kondisi bersih?. Jika kita membuka jendela ke luar, melihat ke negara Singapur, disana ada aturan dilarang untuk meludah dan buang air kecil sembarangan, apakah di Indonesia sudah demikian?.

    Sungai-sungai di mancanegara begitu bersih, jernih dan amat minim akan sampah-sampah rumah tangga, namun apakah kondisi sungai-sungai di Indonesia sudah seperti demikian?, di luar negeri, mereka mengklasifikasikan sampah dengan baik; sampah organik dan non organik, apakah kesemua kondisi dan keadaan tersebut sudah terejawantahkan di Indonesia?. Lantas, apakah yang menjadi pemicu bangsa kita masih belum mau mengaplikasikannya?. Apakah karena sumber daya alam dan sumber daya manusia di Indonesia pemicunya?,

    Bukankah Indonesia kaya akan sumber daya alam yang baik, dan sumber daya manusianyapun tidak begitu buruk, atau bisa dibilang baik. Atau faktor intelektualitas bangsa Indonesia itu buruk?, tunggu dulu, bukankah Indonesia pernah menyabet gelar di kejuaraan matematika dan fisika dunia?, pantaskah bangsa Indonesia disebut sebagai bangsa yang kurang intelek?, tentu tidak!, bangsa Indonesia ialah bangsa yang cerdas. Lalu, faktor apa yang menjadi pemicunya?. Mungkin bisa dibilang faktor pemicunya ialah faktor budaya. Budaya hidup bersih dan sehat mungkin masih dibilang sebagai barang langka di negeri ini. Karena hidup bersih dan sehat itu bagian dari budaya bangsa.

     Jika kita studi banding dengan keadaan lingkungan di irigasi atau sungai di Indonesia dengan di Singapura. Kemungkinan besar di Singapura tidak ada yang buang air besar di sungai, tidak ada bilik-bilik jamban di tepi-tepi sungai, lau bagaimana “pemandangan” di tepi-tepi sungai di Indonesia?. Anda tentu bisa menilaianya sendiri. Di sungai-sungai di Singapura peluang adanya sampah-sampah di sungai pastilah begitu amat kecil, jangankan sampah di sungai, meludah sembarangpun akan dikenakan sanksi. Lalu bagaimana sungai-sungai di Indonesia?.

   Kita bisa melihat sungai-sungai di Indonesia banyak mozaik-mozaik sampah, dan tak bisa dipumgkiri juga ketika musim penghujan datang timbullah masalah-masalah baru akibat onggokan sampah-sampah yang menumpuk di pintu air bak pasukan tentara tengah baris berbaris; penuh, sesak akan sampah.
Lantas, bagaimana menyikapi hal tersebut, salah satu solusinya ialah membiasakan diri untuk berbudaya hidup bersih dan sehat. Mulai dari lingkungan yang sempit, misal kos-kosan atau tempat tinggal kita. Dan belajar berbudaya untuk berbuat baik itu mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang terkecil, dan mulai dari sekarang.

    Karena kita ini bukannya tidak mampu untuk berbuat baik, namun belum mau untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hatri. Karna berbudaya bersih dan sehat itu ialah budaya bangsa.

Urgensi Kalimat Syahadah



1. Ajaran seluruh Rasul Allah

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (Qs. 21: 25)


2. Pintu Menuju Syurga



مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ

"Tak seorang pun mengatakan la ilaha illallah kemudian ia meninggal dunia di atasnya kecuali akan masuk surga" (Hr. Bukhari).

(HR. Muslim no. 873)

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

”Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga” (HR. Abu Daud)


أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّة

"Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang haq selain Allah, dan sesungguhnya aku adalah rasul Allah. Tidaklah seseorang nanti bertemu Allah membawa dua kalimat syahadat tanpa ada keraguan terhadapnya melainkan ia masuk surge" (Hr. Muslim).

Islam itu Mudah dan Memudahkan


"Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringanan-Nya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan" (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.).

“Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. 2:185).

Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Karenanya, seluruh ajaran Islam dapat dilaksanakan oleh manusia, sebagaimana diamalkan dengan baik oleh Rasulullah Saw, para sahahat, tabi’in, salafus saleh, dan orang-orang saleh hingga kini.

Pada da’i atau ulama pun hendaknya menunjukkan kemudahan itu, bukan malah menjadikan ajaran Islam terasa sulit diamalkan. Proses, tahapan, dan prioritas amal dalam Islam harus disosialisaikan (didakwahkan) kepada umat.

Islam hadir bukan untuk membuat susah manusia, justru mempermudah hidup dan kehidupannya.

 “Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan” (HR. Muslim).

Sebagaimana layaknya "petunjuk jalan", Islam memudahkan manusia untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika manusia merasa susah dalam hidupnya, bisa dipastikan, karena ia tidak mematuhi petunjuk Islam. Yang menjadikan Islam terasa berat dan susah adalah diri kita sendiri, lebih tegasnya hawa nafsu kita.

Rabu, 06 Februari 2013

Katakanlah, “Saya Bersyukur dan Bangga terhadap Usaha Saya”.


                Ketika kita berhasil menorehkan sebuah prestasi, baik itu dalam bidang akademik maupun non akademik, pastilah terbesit dalam hati dan pikiran kita sebuah rasa syukur yang dalam dan rasa kebanggaan yang berkesan. Lantas, apakah yang menjadi salah satu faktor penyebabnya?. Ya, tentunya kita merasakan hal yang demikian apabila prestasi atau suatu keberhasilan tersebut kita ukir dalam papan cakrawala kehidupan atas hasil jerih payah –baik usaha secara lahir maupun bathin-- kita sendiri. Apalah arti suatu keberhasilan tersebut jika kita hanya mendompleng pada keeksistensian pihak lain?. Keberhasilan kecil yang kita peroleh dengan usaha kita sendiri itu jauh lebih bermakna dan berkesan dibandingkan keberhasilan yang massif namun keberhasilan tersebut bak kita mendustai diri kita sendiri.

            Tahukah Anda bahwa katak itu ialah hewan yang dimuliakan oleh Allah?. Seperti yang penulis kutip dari ceramah ustadz Syafi’i Masykur, M. Hum., bahwasanya katak itu ialah hewan yang dimuliakan oleh Allah lantaran pada suatu masa ketika sang nabiyyullaah Ibrahim AS. dibakar hidup-hidup pada era kerajaan dari sang raja yang absolut, bengis nandzholim, yakni Raja Namrud. Diceritakan bahwasanya ketika Nabi Ibrahim dibakar, ada katak yang berusaha untuk memadamkan kobaran api yang dahsyat itu. Namun, apa daya, maksud hati ingin memeluk gunung namun tak sampai, tentulah secara logika katak tersebut tak bisa memadamkan api yang berkobar dahsyat tersebut. Namun, Allah sangat mengapresiasi usaha yang dilakukan sang katak tersebut sehingga katak dinobatkan sebagai hewan yang dimuliakan oleh Allah, kendati memang usaha yang ia lakukan sangat kecil dan kurang signifikan untuk bisa memadamkan api tersebut. Dari cerita tersebut, bisa kita tarik sebuah ibroh yang sangat penting nan menarik; sekecil apapun usaha kita untuk berbuat baik pastilah Yang Maha Mencintai Kebaikan akan membalasnya. Kembali ke alur pembicaraan awal bahwasanya sekecil apapun usaha yang kita lakukan atas jerih payah sendiri itu jauh lebih nikmat ketimbang kita mendompleng pada keberadaan orang lain yang akhirnya kita tak mampu untuk berdiri diatas kaki sendiri. Akibatnya, kita cenderung kurang percaya diri dan mandiri. Kita ambil contoh pada hasil ujian, misal, kita mendapat nilai 100, namun nilai tersebut bukanlah nilai murni dari hasil kita, melainkan ada “campur tangan” orang lain. Dan di lain waktu, kita mendapatkan nilai 97, akan tetapi nilai tersebut kiat peroleh dari seratus persen ikhtiar kita –dalam konteks ini ialah ikhtiar lahir (usaha) dan bathin (do’a). Tentunya, saya yakin ada perbedaan rasa dan kesan tersendiri, pastinya kita merasa biasa-biasa saja ketika hasil yang kita peroleh bukan seratus persen dari hasil kita, walaupun secara kuantitatif nilainya lebih besar. Akan tetapi, perasaan tersebut berbanding seratus delapan puluh derajat ketika kita peroleh nilai yang memang lebih kecil, namun ada rasa syukur dan kebanggan yang berkesan tersendiri. Dengan demikian, kita akan terbiasa berkompetisi dengan sportif, responsif dengan dibarengi atmosfer sejuknya kejujuran dan nikmatnya alunan do’a yang dipanjatkan pada Yang Maha Mengabulkan Do’a.

            Dengan terorganisirnya goresan tinta diatas, tentulah sebagai bahan introspeksi dan muhasabah dari sang penulis agar senantiasa berusaha belajar untuk berbuat yang demikian. Sekali lagi, bahwasanya tulisan diatas sebagai bahan pelajaran untuk penulis agar senantiasa berusaha belajar untuk berbuat yang demikian; mengedepankan integritas dan kredibilitas dengan penuh responsibilitas yang berimbas pada rasa syukur kepada Allah dan kebanggaan luar biasa yang dapat mengukir kesan penuh makna. Alhamdulillaahirobbil’aalamiin.
Wallaahu’alam bishshowaab.

Apa itu Ikhlas?.


Ikhlas adalah perkara dimana yang tahu hanyalah Allah dan insan yang bersangkutan. Keberadaannya tidak dapat dijabarkan oleh bentuk, ukuran, warna ataupun aromanya. Keikhlasan tidak perlu diungkapkan oleh lisan karena bisa jadi keikhlasan itu musnah karena diungkapkan lantaran penyakit riya’. Seseorang yang ikhlas dalam hidupnya dan menjadikan ikhlas sebagai menu pokoknya sehari-hari akan terasa ringan, nikmat dan semangat dalam beraktivitas, lantaran ia termotivasi karena Allah semata. Ia tidak memperdulikan apakah orang lain itu memujinya, lantaran yang ia harapkan bukanlah pujian dari mereka ataupun orang lain menghinanya, dikarenakan ia berperilaku yang masih dalam koridor yang diamarkan-Nya. Hatinya tak gamang walaupun ia berbuat kebaikan lantas tak ada orang yang memuji akan kebaikannya. Karena dalam kamus orang-orang yang ikhlas tidak ada kata kecewa, putus asa, dan atau riya’. Niat ikhlas seseorang dalam berbuat kebaikan tak perlu diikrarkan di depan khalayak, karena ia yakin bahwa Yang Maha Mengetahui lebih tahu atas apa yang ia kerjakan. Ia yakin bahwa Allah akan memberi balasan terhadap amal baik yang ia kerjakan, seperti yang telah termaktub dalam firman-Nya yang berbunyi “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrohpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrohpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (Az-zalzalah[99]: 7-8).Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana menggapai keridhoan dan rahmat-Nya sehingga ia tidak bersusah payah untuk ‘menutup topengnya’ demi pujian dari manusia semata.

Orang-orang yang ikhlas itu identik dengan orang-orang yang beriman, karena makna ikhlas itu berbeda dengan dengan tulus ataupun rela. Ikhlas ialah melakukan segala sesuatu hanya karena Allah I, walaupun melakukannya itu dengan penuh paksaan dalam diri, tetapi pada akhirnya kebahagiaan jiwalah yang ia peroleh. Misalkan, seseorang yang sedang nikmat-nikmatnya tidur di malam yang gulita nan nikmat untuk beristirahat, namun tatkala ia mendengar seruan adzan yang berarti itu seruan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang beriman yang ingin menggapai kemenangan, ia langsung bangkit dari peraduannya walaupun bangkit dengan susah payah melawan kemalasan dalam dirinya untuk bergegas menuju ke rumah-Nya dalam rangka beribadah kepada-Nya untuk menjemput kemengan. Sedangkan, makna tulus atau rela itu ialah melakukan segala sesuatu dengan senang hati. Misalnya, seseorang yang mabuk-mabukkan atau ‘bermain’ perempuan dan atau korupsi itu pastilah mereka melakukan denga senang hati (tulus) dan bukan kerena Allah I, karena kesemuanya ialah bertentangan dengan apa-apa yang Dia perintahkan. Dan akan lebih baik lagi jika beramal dilakukan dengan tulus dan ikhlas, karena pastilah ketika mengamalkannya akan terasa sangat menyenangkan, menikmati dan penuh motivasi karena Allah semata.

Jadi, marilah belajar beramal dengan memperbaiki dahulu niatnya, karena “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya” (Al-hadits). Jika berniat karena ingin dipuji atau riya’, maka yang didapatkan hanyalah pujian dari makhluk yang sifatnya semu belaka. Namun, jika diniatkan hanya karena Allah, entah apapun yang ia dapatkan dari makhluk, baik itu pujian ataupun cercaan, ia tak risih akan hal tersebut. Karena yang ia harapkan hanyalah keridhoan dan rahmat dari Yang Maha Pemberi Rahmat, maka itulah sebenar-benarnya amal perbuatan. Amal perbuatan yang dilakukan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan yang nyata hanya karena Allah Yang Maha Penyayang. Betapa beruntungnya yang dapat mengamalkan segala aktivitasnya dengan tulus dan ikhlas. Mari belajar untuk mengamalkannya, agar menjadi hamba-hamba-Nya yang berada dalam barisan orang-orang yang Dia ridhoi. Aamiin yaa Robbal’aalamiin.
Wallahu’alam bisshowaab.

Kehidupan

Sebagian orang berpendapat bawa hidup itu adalah ujian, kejam, sebuah pilihan, penuh perjuangan, dan penuh lika-liku lainnya. Namun, pada hakikatnya, hidup kita adalah sebuah ladang ibadah kita untuk bekal hidup di akhirat nanti, sesuai  dengan firman Allah dalam Q. S. Adz-dzaariyaat: 56


“ Dan Aku tadak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada Ku”
(Q. S. Adz-dzaariyaat: 56)

Bagaimanakah dinamika kehidupan kita?, pastinya tidak sama dan tetap, kan?. Terkadang kita merasa senang, gundah, atau terkadang kita berada di atas, di bawah, kaya, miskin. Live is never flat, itulah sebuah pepatah mengatakan bahwa hidup itu tidak pernah datar.

Biar bagaimanapun, pastilah semua orang mengharapkan kebahagiaan dalam hidupnya. Namun, apakah arti kebahagiaan itu? apakah kebahagiaan itu identik dengan banyak nominal uang yang kita memiliki? Lantas, mendapatkannya dengan berbagai hal, meghalalkan segala cara untuk meraihnya? seperti korupsi, mencuri, merampok? Atau, apakah kebahagiaan itu hanya tentang urusan ‘bawah perut’? hanya orang kafir sajalah yang hanya sibuk mengurusi tentang urusan perut dan bawah perutnya.

Kebahagiaan dalam hidup itu salahsatunya dengan bagaimana kita mensyukuri apa-apa yang telah Allah berikan kepada kita, ikhlas menerima dariNya. Namun, kita cenderung hanya memikirkan tentang keduniawian semata dan lalai akan urusan ukhrawi. Padahal, ukhrawi itu jauh lebih penting dan kekal, tidak seperti dunia yang fana ini. Jangan hanya memikirkan apa-apa yang belum kita punyai, tapi pikirkanlah apa-apa yang belum kita syukuri. Astaghfirullaahal’adziim.

 
Selamat Datang di PENA PURNOMO, Menggores Pena, Menciptakan Makna